January 27, 2022

Hachiko dan Kesetiannya yang Diagungkan Masyarakat Jepang

Kisah ini bercerita tentang kesetiaan dan pengabdian yang mungkin tidak dimiliki semua hewan peliharaan.

Hachikō adalah seekor anjing yang setia menantikan tuannya. Kisah penantian ini sangat mengharukan banyak orang khususnya masyarakat Jepang. Terinspirasi dari kisahnya maka dibuatlah sebuah patung untuk mengenang kesetiaan Hachikō di depan Stasiun Shibuya, Tokyo.


Lahir pada tanggal 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Ōshinai-go, anjing jenis Akita. Anjing ini kemudian diadobsi dan menjadi milik keluarga Ueno. Profesor Ueno sangat mencintai anjing kecil ini diberi nama Hachi, sebuah kata Jepang yang berarti ‘angka 8’, yang merepresentasikan good fortune, comfort and confidence.

Profesor Ueno mengajar ilmu pertanian di salah satu universitas di Tokyo, saat itu beliau berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun. Profesor Ueno adalah pecinta anjing. Sebelumnya pernah beberapa kali memelihara anjing Akita, tapi semuanya tidak berumur panjang.

Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian tuannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Hachi kadang-kadang mengantar Profesor Ueno hingga ke Stasiun Shibuya. Dipasang sore hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput.
Sebelum berpisah, biasanya Prof Ueno membelai dengan lembut kepala Hachi, dan berjanji bahwa ia akan kembali sore harinya. Dan pada sore harinya Hachi akan kembali ke stasiun menantikan tuannya kembali, dan bersama-sama berjalan pulang ke rumah.

Kebiasaan itu berjalan selama 16 bulan. Sampai suatu ketika pada tanggal 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia karena serangan stroke yang fatal. Atas keputusan keluarga, jenazahnya tidak dibawa ke Tokyo, tetapi langsung dibawa ke kampung halamannya untuk dimakamkan di sana.

Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, dilakukan Upacara Tsuya  (jaga malam untuk orang meninggal) pada malam hari 25 Mei 1925, dan Hachi masih belum paham bahwa Profesor Ueno sudah meninggal.

Keesokan harinya Hachi kembali pergi ke stasiun untuk menjemput majikannya. Dan ternyata tuannya tetap tidak kunjung kembali.

Nasib malang ikut menimpa Hachi karena Yae harus meninggalkan rumah almarhum Profesor. Mulai saat itu Hachi pun berpindah-pindah kepemilikan. Namun ternyata tidak ada yang menyayanginya seperti Profesor Ueno. Hachi tidak pernah menemukan kasih yang mampu menggantikan kasih Profesor Ueno.
Itu mungkin yang menjadi penyebab mengapa Hachi tidak dapat melupakan majikannya.

Pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi (yang menjadi tukang kebun bagi keluarga Ueno). Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya. Dan anjing setia ini sering mendapat perlakuan tidak baik di stasiun tsb.

Pada sore hari, kereta api sudah memasuki stasiun, dan penumpang satu persatu mulai turun, tetapi sampai penumpang terakhir meninggalkan stasiun, Profesor Ueno tetap tidak muncul. Hachi yang tidak pernah tahu bahwa tuannya sudah tidak berada di muka bumi ini lagi, tetap menanti dengan setia. Setiap hari, dari pagi sampai malam hari, sampai kereta terakhir meninggalkan stasiun, Hachi setia menunggu.
Menemukan kenyataan bahwa ternyata tuannya belum kembali juga pada hari itu, dengan letih ia meninggalkan stasiun, dan siap untuk datang keesokan harinya lagi.

Tidak jelas kemana Hachi pergi setelah keluar dari stasiun, tapi keesokan harinya Hachi mengejutkan banyak orang ketika ia muncul di pagi hari pada jam yang sama Prof Ueno berangkat kerja. Kembali, Hachi menanti seharian sampai kereta terakhir meninggalkan stasiun di malam harinya.


Akhirnya setiap pengguna kereta api di Shibuya mulai mengetahui kisah penantian Hachi. Mereka tahu bahwa penantian Hachi adalah penantian yang sia-sia, tetapi banyak orang yang mulai tersentuh dengan kesetiaan dan pengharapannya, serta rasa hormat kepada majikannya.

Selama 7 tahun kisah Hachi menunggu majikan di stasiun ini mulai beredar dari mulut ke mulut, sampai pada tahun 1932, sampai kepada penulis Hirokichi Saitō dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang.

Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saitō menulis beberapa artikel tentang kisah sedih Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya rōken monogatari (“Kisah Anjing Tua yang Tercinta”). Juga ada artikel dengan judul “A Faithful Dog Awaits Return of Master Dead for Seven Years”.

Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikannya. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya. Sejak itu pula, akhiran  (sayang) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan orang memanggilnya Hachikō.

Sekitar tahun 1933, kenalan Saitō, seorang pematung bernama Teru Andō tersentuh dengan kisah Hachikō. Andō ingin membuat patung Hachikō.
Diprakarsai oleh Andō, diselenggarakanlah acara pengumpulan dana di Gedung Pemuda Jepang (Nihon Seinenkan), 10 Maret 1934. Sekitar 3.000 (wow!!!) penonton hadir untuk melihat Hachikō.


Patung perunggu Hachikō akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachikō bersama sekitar 300 hadirin.

Kehidupannya yang mulai berubah, (tidak seperti dulu lagi selalu mendapat perlakuan kasar), tidak membuat Hachi melupakan tuannya. Walau kini ia disayangi banyak orang, Hachi tetap setia menanti di stasiun Shibuya.

Hachi ditemukan sudah tidak bernyawa setelah 10 tahun dalam penantian pada tanggal 8 Maret 1935. Berita kematiaanya segera menyebar, dan Hachi diberikan upacara pemakaman layaknya seorang manusia dengan ritual Budha yang berlangsung selama 49 hari.


Hachikō dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian luar tubuh Hachikō diopset, dan hingga kini dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Ueno, Tokyo.

Dua tahun berikutnya (1937), kisah Hachikō dimasukkan ke dalam buku pendidikan moral untuk murid kelas 2 sekolah rakyat di Jepang. Judulnya adalah “On o wasureruna (Balas Budi Jangan Dilupakan)”.

Share:

January 12, 2022

Tokyo Camii Mesjid

Jepang dikenal dengan negara yang minoritas beragama Islam. Negara yang dijuluki dengan negeri terbitnya matahari tersebut mulai membiasakan menyediakan wisata ramah muslim seperti kuliner halal hingga mesjid yang menjadi tempat ibadah umat Islam. Mesjid terbesar terletak Shibuya, Tokyo yang diberi nama Tokyo Camii. Memiliki motif bangunan Turki, dan dikenal sebagai Islamic Centre Turki di Tokyo.

Kalau orang Indonesia menyebutnya “Mesjid Syahrini”, karena artis Syahrini menikah di mesjid ini, hehe.


Masjid ini dibuka pada tahun 2000, Masjid Jami’ Tokyo memiliki sejarah yang kaya, lebih dari apa yang orang bayangkan. Tanah tempat berdirinya masjid ini dulunya milik grup dari Turki yang bernama “Mahalle-i Islamiye” (Distrik Muslim) yang mengungsi dari Rusia di era Uni Soviet sekitar tahun 1938. Kemudian mereka membangun sekolah dan masjid di Tokyo pada tahun 1983. Seiring berjalannya waktu, bangunan masjid mulai rusak, dan kemudian dibongkar pada 1986 untuk kemudian dibangun kembali pada 1998.

Masjid Jami’ merupakan pusat, atau masjid utama untuk orang muslim berkumpul bersama, contohnya untuk Sholat Jumat, Shalat Idul Fitri dan Idul Adha,

 

Share:

September 04, 2021

Dokumen Pengajuan Certificate of Eligibility Jepang

Sebelum kita bebas berpetualang di Negeri Sakura, bagi yang sudah menikah dan pasangannya bekerja di Jepang, kita diwajibkan untuk mendaftar permit alias izin tinggal. Hal yang pertama yang diajukan adalah Certificate of Eligibility (CoE) dari Imigrasi Jepang. CoE tersebut harus diurus langsung oleh pasangan yang tinggal di Jepang. Dokumen persyaratannya yaitu:



1) Paspor asli pasangan di Jepang

2) Residence card pasangan di Jepang

3) Fotokopi KTP Jepang pasangan

4) Fotokopi juminhyo pasangan

5) Dokumen perusahaan pasangan di Jepang 

6) Noze, kaze (pembayaran pajak)

7) Pas photo pemohon, latar putih, ukuran 3x4 cm  

8) Fotokopi paspor pemohon

9) Buku nikah asli

10) Buku Nikah (diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang)

11) Fotokopi KK pemohon (diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang)

10) Fotokopi Akta kelahiran pemohon (diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang)

13) SKCK pemohon (diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang)


*Persyaratan yang dibutuhkan disesuaikan dengan wilayah tempat tinggal masing-masing.

Setelah diajukan permohonan, biasanya CoE akan diterbitkan paling cepat 1 bulan dan paling lama 8 bulan atau bahkan bisa lebih. Setelah kita dapat CoE, kemudian kita baru bisa mengajukan visa dependent di Konsulat Jenderal di Indonesia (kantornya sesuai dengan wilayah kerja masing-masing)


Pengajuan Visa Dependent 

Berikut dokumen yang perlu dipersiapkan:

1) Paspor asli

2) Formulir permohonan visa ( download di https://www.id.emb-japan.go.jp/visa.html )

3) Pasfoto warna diambil dalam 3 bulan terakhir, ukuran 4.5 cm x 4.5 cm, latar cerah, dilem di formulir visa

4) Fotokopi KTP​ pemohon visa

5) Fotokopi KK pemohon visa

6) Buku Nikah asli

7) Fotokopi Buku Nikah

8) COE asli

9) Fotokopi COE

10) Fotokopi KTP Jepang pasangan

11) Fotokopi juminhyo pasangan

12) Surat keterangan (dibuat oleh pihak di Jepang jika menggunakan COE yang sudah lewat 3 bulan dari tanggal terbit COE) ( download di https://www.moj.go.jp/isa/content/001343297.doc )

13) Surat kuasa (jika pengurusan/pengambilan visa diwakilkan) ( download di https://www.medan.id.emb-japan.go.jp/itpr_id/b_000099.html )


Visa sudah ready dan selanjutnya siap untuk bertemu pasangan di Jepang! :) 
Share:

May 29, 2021

Resep Mie Rebus Kepala Udang

Selama ini kita berpikir bahwa kita tidak bisa mengolah kepala udang. Nah berdasarkan video yang saya simak dari Grup Trancity Harmony IIP, kepala udang ini bisa dimanfaatkan lhooo..

Berawal dari sejarah mie rebus dari Medan. Disana terdapat berbagai macam etnis yaitu chinese, india, jawa, sunda, padang. Awalnya mie rebus ini diadpopsi dari etnis tersebut, oleh karena itu mie rebus ini dikenal sebagai Mie Keling. 

Mie rebus ini memiliki khas pada kuahnya yg dibuat dari kaldu kepala udang. Cara pembuatannya itu diblender terlebih dahulu dengan 500 ml air dan dimasak dengan bumbu halus yaitu bawang merah, bawang putih, kemiri dan daging udangnya. Kemudian bahan rempahannya yaitu gula merah, kayu manis, kapulaga, daun salam, dan bunga lawang. 

Di dalam Mie rebus kepala udang ini terdapat kandungan gizinya, seperti karbohidrat, protein nabati, dan protein hewan. Masakan ini dijamin sehat dan bergizi untuk dikonsumsi :)

Share:

February 24, 2020

My Graduation Attire

So, this is my graduation attire. I designed the dress by my self. It is inspired by Princess Aurora, the sleeping beauty, because I am indeed. On graduation day, I believe i was awake. I know my campus life was a dream, too beautiful to be a reality.

 

I added Indonesian touch on my special skirt called Tenun Silungkang. I bought it when I took part in an awesome program of The Ministry of Youths and Sports of Indonesia in Sawahlunto, West Sumatera.
For the scarf, I made it simple, because I wanted people to see my back: the ribbon that wrapped me. I believe, graduation is a gift for me, so that's why I am a gift.

 

For the special cloth, it was tailored by my sister in-law @dressbyliza.
For my very pinkish shade face,  it was dolled by @makeupbyika.
Thank you so much, I just love it so much.

My graduation day was on February 21, 2019.
Share:

October 30, 2018

Flying

There is one thing I love being in the plane.
I realize how small I am. How vulnerable I am. How weak I am.



Takdir manusia hidupnya di atas tanah, bahkan diciptakan juga dari tanah. Terkadang sering merasa di atas hingga lupa sebenarnya seberapa kecil kita, seberapa lemah kita.
Padahal, kalau benar-benar di atas, jika Allah berkehendak, "kun fayakun", lalu jatuh, kembalilah kita menjadi tanah.
Sejauh apapun kita terbang, setinggi apapun yang dicapai, pada akhirnya akan tetap menjadi tanah. 
Dan apapun di dunia ini tak akan berarti untuk seonggok tanah. Kecuali amal yang saleh.
May Allah always remind us how pitiful creature we are, thus we are always getting close to him
Share:

September 26, 2018

Tarian Tradisional Reguler di Museum Tsunami Aceh


Setiap Akhir Pekan, Museum Tsunami Aceh Gelar Tarian Tradisional Reguler.

Museum Tsunami Aceh menjadi wahana memperingati ribuan korban jiwa dari bencana gempa dan Tsunami pada 26 Desember 2004. Di dalamnya terdapat berbagai ruang sebagai sarana edukasi dan pameran bagi para wisatawan yang berkunjung ke museum.



Kini, museum megah yang terletak di jantung kota gemilang berbenah. Mulai bulan September hingga bulan Desember 2018 akan digelar berbagai serangkaian penampilan tarian tradisional reguler di Amphitheater museum. Wahyu Mulyani, wakil koordinator museum mengatakan, "Museum Tsunami akan menggelar pagelaran seni reguler dengan mengundang sanggar tarian dari berbagai sekolah favorit di Banda Aceh untuk menampilkan tarian di Amphitheater museum. Pagelaran ini diadakan hingga Desember 2018."


Sekolah yang turut menampilkan tarian adalah MAN Model, MAN 3, SMAN 4, SMP IT Al Azhar Cairo, SMPN 1, dll. Wahyu menambah, "para pengunjung yang datang ke museum tidak hanya dari masyarakat lokal, tetapi juga dari seluruh mancanegara. Setiap bulannya pengunjung yang datang ke museum sebanyak 19.000 pengunjung." Penampilan tarian Aceh ini digelar agar para wisatawan dapat menikmati secara langsung seni dan budaya Aceh. Tarian yang ditampilkan adalah tarian Likok Pulo, Ratoh Jaroe, Rapai Geleng, Saman Gayo dan Ranup Lampuan. Pada hari Sabtu dan Mingggu lalu, 22 - 23 September 2018, tarian Likok Pulo dan Saman Gayo ditampilkan oleh siswa MAN Model Banda Aceh serta tarian Rapai Geleng ditampilkan oleh siswa MAN 3 Banda Aceh.



Bagi Anda yang ingin menyaksikan pagelaran seni Aceh, bisa langsung datang ke Museum Tsunami Aceh setiap hari Sabtu dan Minggu.
Jadwal pagelaran;
Sabtu, pukul 14.30 - 16.00 WIB,
Minggu, pukul 10.00 - 12.00 dan 14.30 - 16.00 WIB.
Share: