Waktu kecil, kita sering menangisi hal-hal kecil yang ngga penting. Goresan sedikit di kaki, diganggu anak cowok, dibilang manja/cengeng, dipanggil pake nama ayah, ngga diajak main, dan sebagainya, dan sebagainya.
Semakin tumbuh, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi, cara kita memandang sesuatu juga berubah. Dinakalin kita melawan, dibilang manja kita balas sambil main-main, dipanggil pake nama ayah kita bangga, dan sebagainya dan sebagainya.
Tapi, apa ketika sudah dewasa air mata lantas mengering? Apa lantas kesedihan meninggalkan kita?
Di waktu kecil kita menangis untuk hal-hal kecil, ketika sudah besar kita menangis untuk hal yang lain. Hal-hal macam tanggungjawab atau hal serupa yang bikin kita menyesali harapan “pengen cepet gede” kita dulu.
Trus harus apa? Toh kita ga bisa lari dari kesedihan. Kita ga bisa sembunyi dari ujian pemberian Tuhan.
Walaupun badan sudah tumbuh segitu besar dan tinggi, sudah dipanggil ayah, sudah dipanggil ibu, sudah jadi uncle atau aunty, ketika beban di pundak atau dengungan-dengungan berisik dari dalam kepala begitu menyiksa, menangislah. Karena cara terbaik kita menunjukkan kelelahan, ketakutan, kekecewaan, atau kesakitan sewaktu kecil dulu tetap akan membawa setidaknya sedikit kelegaan di dada.
Menangislah. Kenapa harus malu?
Menangis buat kita merasa lebih baik. Menangis buat kita lagi-lagi sadar, kalau kita bukan apa-apa, hanya makhluk lemah yang perlu sandaran. Hanya makhluk yang numpang tinggal dan ngga pegang kemudi untuk segala hal.
Menangis buat kita merasa lebih baik. Menangis buat kita lagi-lagi sadar, kalau kita bukan apa-apa, hanya makhluk lemah yang perlu sandaran. Hanya makhluk yang numpang tinggal dan ngga pegang kemudi untuk segala hal.
0 comments:
Post a Comment