Pertanyaan ini sering terlontar dari mereka yang mengamati para pejalan. Banyak kemudian akan menjawab bahwa berjalan mengajarkan kita untuk pandai dalam menemukan. Sebutlah perihal menemukan jati diri, pengalaman baru, kebahagiaan dan hal-hal kecil, rasa gembira tatkala berbagi sembari mencitrakan diri, dan rasa penasaran tatkala menemukan dan mencoba hal baru.
Saya pun pernah turut merasakannya dan terus terang, kesemuanya adalah candu yang tidak akan berhenti membuatmu berjalan menantang tiap sudut bumi untuk ditaklukkan dengan tapak kaki ataupun lensa kamera. Sekilas melihat, perihal perjalanan itu sungguh serupa dengan simpul delapan yang tidak memiliki awal ataupun akhir.
Kamu mungkin berpikir bahwa perjalanan itu membebaskan, dan saat bebas kita dapat mengenal diri kita yang sesungguhnya, yang selama ini terkungkung batasan-batasan norma hidup dan pergaulan.
Tapi saya berpikir sebaliknya, semakin sering berjalan membuat saya tersadar bahwa perjalanan itu memenjarakan. Tiap pantai yang kamu kunjungi, tiap gunung yang kamu daki, kota yang kamu telusuri adalah dinding-dinding yang membatasimu dari rasa cukup, membuatmu haus akan pengalaman, citra dan kecap rasa pengakuan.
Tapi saya berpikir sebaliknya, semakin sering berjalan membuat saya tersadar bahwa perjalanan itu memenjarakan. Tiap pantai yang kamu kunjungi, tiap gunung yang kamu daki, kota yang kamu telusuri adalah dinding-dinding yang membatasimu dari rasa cukup, membuatmu haus akan pengalaman, citra dan kecap rasa pengakuan.
Tak pelak mengubah para pejalan menjadi manusia-manusia egosentris yang melihat sekitar laksana mata angin yang berkaitan dengan kesahihan dirinya.
“Pantai itu sudah lama ingin saya kunjungi”, “kota itu adalah destinasi impian saya”, “gunung itu sudah lama ingin saya daki”, “makanan itu sudah lama ingin saya cicipi”.
Seberapa sering kita berjalan untuk tujuan yang bukan tentang diri kita?
Mungkin saat kita sebentar saja mencoba untuk memikirkan tentang batas waktu yang kita miliki dan bahwa bumi yang kita jelajahi ini bukan milik kita sendiri. Kita dapat sedikit saja memandang perjalanan perihal lain.
Tentang manusia-manusia yang butuh kita jangkau dan bantu, tentang hutan yang menunggu kita datang dan melestarikannya, tentang hewan yang tak ingin kita datang dan ganggu, tentang klta yang berharap kita pulang kembali.
Dan mungkin saat itu, kita benar-benar bisa memandang perjalanan sebagai perihal yang membebaskan.
“Pantai itu sudah lama ingin saya kunjungi”, “kota itu adalah destinasi impian saya”, “gunung itu sudah lama ingin saya daki”, “makanan itu sudah lama ingin saya cicipi”.
Seberapa sering kita berjalan untuk tujuan yang bukan tentang diri kita?
Mungkin saat kita sebentar saja mencoba untuk memikirkan tentang batas waktu yang kita miliki dan bahwa bumi yang kita jelajahi ini bukan milik kita sendiri. Kita dapat sedikit saja memandang perjalanan perihal lain.
Tentang manusia-manusia yang butuh kita jangkau dan bantu, tentang hutan yang menunggu kita datang dan melestarikannya, tentang hewan yang tak ingin kita datang dan ganggu, tentang klta yang berharap kita pulang kembali.
Dan mungkin saat itu, kita benar-benar bisa memandang perjalanan sebagai perihal yang membebaskan.
Bukit Ngarai Sianok, 20 November 2017.
0 comments:
Post a Comment